Pages

Selasa, 18 Juni 2013

Indonesia dan regulasi rokok

Satu lagi peraturan pemerintah terkait dengan benda penggerogot kesehatan manusia yaitu rokok. Permenkes No 28 tahun 2013 akan membatasi iklan, promosi dan sponsorship rokok. Peraturan ini diperlukan untuk membatasi ruang gerak penjualan rokok di tanah air. Kehilangan pasar Amerika yang tadinya adalah negara Marlboro, Indonesia dan negara berkembang lain adalah sasaran empuk bagi banyak produsen rokok tingkat dunia.

Banyak tempat publik di Amerika adalah wilayah bebas rokok dan segala macam iklannya. Rokok benar-benar hanya dijual pada mereka yang berusia 18 tahun ke atas. Harga rokok pun tergolong mahal. Usaha pemerintah baik pusat maupun daerah untuk meningkatkan kesehatan masyarakat ini berbuah hasil dan jumlah anak di bawah umur yang merokok menurun drastis. Bahkan jumlah perokok secara umum menurun hingga 50% dalam delapan tahun.

Perubahan negara Marlboro menjadi negara di mana para perokok merasa malu memberi harapan pada kita untuk merasa yakin bahwa ketergantungan pada rokok dapat ditanggulangi, bahwa jutaan paru-paru dan jantung di Indonesia seharusnya bisa berfungsi lebih lama dan lebih baik dari sebelumnya. Memang perlu tindakan untuk membebaskan masa depan penerus bangsa dari jerat rokok dan tidak selalu diterima dengan baik, apalagi Indonesia adalah negara demokratis dengan rakyat yang gemar berkomentar. Namun bukan berarti gerakan penyelamatan bangsa harus berhenti atau pemerintah hanya berdiam karena devisa negara sangat mengharapkan sumbangan industri rokok.

Pemerintah dapat berlaku lebih proaktif dan preventif terhadap permasalahan negara, terutama terkait rokok. Pembunuh masa depan masyarakat Indonesia dan sebenarnya pembunuh yang dapat dicegah. Pencegahan ini perlu dilakukan segera agar dampaknya dapat terlihat dalam hitungan tahun dan bukannya dasawarsa. Bayangkan jumlah anak Indonesia yang lahir setiap harinya dan mereka terancam merokok di usia SMP hingga nafas terakhir yang dihembuskan. Mereka tidak menyadari fakta sesungguhnya bahwa hal yang mereka pikir terlihat keren justru membunuh kemampuan mereka berpikir, dan terutama bernafas. Sementara itu adalah sebuah ironi melihat fakta bahwa beberapa merek produk rokok bahkan telah memberikan pendidikan dan membina bibit terbaik bangsa ini.

90 persen remaja berusia 13-15 tahun terkena paparan iklan rokok terutama dari televisi, demikian data Tobacco Free Initiative (TFI-WHO). Dampak dari iklan, promosi dan sponsorship rokok juga terlihat dari kecenderungan remaja usia 15-19 tahun untuk merokok yang semakin besar. Menurut data dari Kementerian Kesehatan pada 2010, kecenderungan merokok usia remaja meningkat 3 kali lipat menjadi 43,3 persen. hasil Riskesdas 20120 juga menunjukkan persentase anak yang mulai merokok pada 10-14 tahun menjadi 17,5 persen. Menurut seorang anak muda tingkat SMA, rokok punya iklan yang keren, fun, tidak berbahaya, terutama yang bernuansa Indonesia. Akankah kita biarkan Indonesia dan medianya terjajah oleh rokok?

Menjadi pertanyaan apakah seluruh perturan baru ini akan diterapkan oleh semua pihak terkait dengan keteguhan? Pembatasan iklan akan dilakukan di seluruh media cetak maupun elektronik. Unutuk telebisi, penayangan iklannya dibatasi hanya pukul 21.30 sampai lima pagi. Sedangkan untuk media teknologi informasi, aksesnya hanya untuk usia di atas 18 tahun. Pembatasan untuk sponsorship dari perusahaan rokok juga berlaku untuk semua kegiatan, baik yang bersifat pendidikan, kesenian, olahra, maupun kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Pembatasan iklan rokok secara umum  sebenarnya sudah diatur dalam PP 109/2012. Pada peraturan ini dalam bungkus rokok harus mencantumkan peringatan kesehatan dalam bentuk gambar dan tulisan, minimal 10% dari total durasi iklan atau 15% dari total luas iklan. Iklan tidak boleh menampilkan wujud rokok, mencantumkan nama produk sebagai rokok, menyarankan rokok, menggunakan kalimat menyesatkan, menampilkan anak, remaja, wanita hamil, atau tokoh kartun. Iklan rokok harus mencantumkan 18+ sebagai usia yang pantas untuk merokok. Iklan ruang (billborad) luasnya tidak boleh melebihi 72 meter persegi. Iklan tidak boleh ditempatkan di Kawasan Tanpa Rokok (KTR) atau jalan protokol. Papan iklan harus diletakkan sejajar bahu jalan dan tidak boleh melintang. Untuk kegiatan promosi dilarang membagikan rokok gratis apalagi untuk remaja. Tidak boleh menggunakan simbol produk pada kegiatan perserorangan atau lembaga.

Peraturan bertambah tapi di mana evaluasi terhadap peraturan yang sudah diterbitkan? Sejauh mana penerapannya di lapangan? Kalau memang billboard tidak boleh ditempatkan di jalan protokol, mengapa setiap 100 meter kota-kota di Indonesia tidak dapat dilalui tanpa lambang suatu merek rokok? Di mana indera penglihatan pemerintah saat melalui jalan-jalan layang dan jalan bebas hambatan di kota Jakarta? Lambang-lambang merek rokok tidak hanya menjamur di billboard, spanduk, baliho, dan beragam media, bahkan yang "unofficial" seperti papan nama toko dan warung-warung kaki lima pun sudah di-branding.



Ini mungkin terjadi karena mereka telah mengantisipasi langkah pemerintah bila ada peraturan baru terkait rokok. Pemerintah yang adalah wakil masyarakat seharusnya berpikir dan bertindak lebih maju daripada mereka. Seperti yang diungkapkan menteri kesehatan, Nafsiah Mboi, yang tidak mau berperang dengan industri rokok, namun yakin bahwa hak masyarakat untuk sehat pasti menang. Peningkatan peraturan ini perlu dilihat sebagai langkah awal dan bukannya langkah akhir untuk Indonesia yang lebih baik.

Reference
http://health.kompas.com/read/2013/05/31/13533692/90.Persen.Remaja.Terpapar.Iklan.Rokok
http://health.kompas.com/read/2013/05/31/15332953/Begini.Aturan.Iklan.Rokok

0 komentar:

Posting Komentar